Skip to main content

Cahaya Terakhir (cerpen)



                                                                    Cahaya Terakhir
  “Aku lebih dulu, kau kalah Endang. Aku menang... Endang kalah lalala.” Aku menari-nari atas kemenanganku. “Hei.. tunggu dulu Syf, di sini bukan garis finish-nya. Kau curang!” jawab Endang yang tak terima akan kemenanganku. “Ah, kamu ini Endang, dari dulu kamu selalu saja tidak terima dengan kekalahanmu. Aku tidak mau bermain denganmu lagi.” jawabku. “Sudah, lebih baik kita pulang saja, sebentar lagi matahari akan terbenam.” Katanya sambil melirikku sinis. Aku pergi untuk mengantarkan Endang ke rumahnya terlebih dahulu, walaupun nantinya aku harus memutar dan menyeberangi sungai, tetapi ya sudahlah. Aku berhasil menyeberangi sungai dengan selamat dan sampai di rumah dengan baju yang basah. Padahal aku belum siap dimarahi Ibuku. “Syf! Apa yang kamu lakukan? Lagi-lagi kau buat Ibu repot ya! Pulang sore, baju basah, belum lagi ada tugas sekolah. Ibu tidak suka kamu seperti ini lagi. Mengerti kamu?”. “Iya Bu, Syf minta maaf.” Ya begitulah omelan Ibuku saat aku pulang dalam keadaan buruk.
  Ya. Namaku Syf, aku merupakan putra tunggal di keluargaku. Ibuku selalu lelah dengan tingkahku. Memang seharusnya aku tidak merepotkannya, karena dia merupakan orang tuaku satu-satunya. Ayahku bekerja di luar kota. Namun, hingga kini Ia tak kunjung kembali dan tidak menafkahi kami. Endang adalah sahabat terbaikku. Kami selalu bersama dari kecil. Kami masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Sekolah di daerah kami hanya ada satu dan jarak untuk ke sana sangat jauh dan harus melewati sungai. Tidak ada jembatan, tidak ada rakit, dan tidak ada pengaman apapun untuk menyerberangi sungai. Untung saja sungainya dangkal dan arusnya tidak terlalu deras. Tetapi, saat hujan deras beberapa anak yang pergi ke sekolah harus menyerberang sungai terlebih dahulu terpaksa tidak masuk sekolah demi keselamatan. Arus sungai saat hujan, sangat deras, jadi kami tidak bisa menyeberang saat hujan.
  “Syf, ayo belajar. Saat malam nanti kau tidak akan bisa belajar lagi. Setelah selesai belajar, segera ke meja makan.” teriak Ibuku sambil melewati kamarku. Dengan segera aku mengambil buku pelajaranku. Aku mempelajari pelajaran yang tadi dibahas di sekolah. Aku sudah tidak bisa belajar lagi saat malam, di desaku kami tidak tersentuh oleh aliran listrik. Jadi, di sisi jalan hanya ada obor, sedangkan di dalam rumah hanya ada lentera. Sebenarnya aku masih bisa belajar saat malam, tetapi lentera yang kupakai terbatas. “Akhirnya selesai juga.”batinku. Aku berlari kecil menuju  meja makan. Perutku serasa tidak bisa untuk diajak kompromi lagi. Menu malam ini masih sama seperti menu-menu sebelumnya. Sayur bayam dengan nasi dan kerupuk, lauknya tahu dan tempe. Malam ini, aku sangat bersyukur bisa makan dengan sayur. Biasanya aku hanya makan nasi dengan sambal.
  Tok tok tok. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu di saat aku sedang asyik menyantap makan malamku. “Endang? Sedang apa malam-malam kamu ke sini?”tanyaku. “Begini, Ibuku pergi ke pasar malam untuk menjual hasil panennya, jadi aku disuruh ke rumahmu. Dan, aku belum makan.”jawabnya polos. “Astaga, lalu bagaimana caramu menyeberang sungai tanpa terkena air?”. “Syf, siapa itu? Ada apa kok lama sekali?”tanya Ibuku. “Ini Endang, Bu. Biar aku suruh dia masuk.”jawabku sambil mempersilahkan Endang masuk. Endang masuk dan melesat ke meja makan. Ibuku dan aku langsung mempersilahkan dia untuk makan. Dia makan dengan lahapnya. Tapi aku masih bingung, untuk ke rumahku, hanya ada satu jalan, yakni hanya dengan melewati sungai. Namun, bagaimana bisa dia menyeberangi sungai tanpa kebasahan?
                                                                               ***
  “Terima kasih, Bu. Boleh saya bermain dengan Syf? Sebentar saja.”tanya Endang. “Tentu, tetapi jangan ribut-ribut ya, sudah malam, nanti takut mengganggu.”. “Baik Bu, terima kasih.” Akhirnya, setelah belajar, makan, waktunya bermain lagi. Aku dan Endang bermain tebak-tebakan kalau salah akan ada hukumannya. Misalnya, Endang kalah dalam pertanyaanku, jadi aku berhak memberinya hukuman, seperti dia harus diam saat pelajaran matematika. Padahal biasanya, Endang selalu ribut saat pelajaran matematika.  Tak terasa, hari semakin larut. Tiba-tiba terdengar suara pintu terketuk lagi. Saat kubukakan, ternyata Ibu Endang datang menjemput. “Permisi, saya ingin menjemput Endang.” Kata Ibu Endang dengan lembut. “Tentu saja, Endang... sini nak, Ibumu sudah menjemput.” Dengan cepat, Endang segera meninggalkan permainan dan berlari ke arah pintu. Endang berdiri di sisi Ibunya dan langsung berpamitan.
  Kesepian, itulah yang aku rasakan. Di rumah, aku serasa hanya sendiri. Aku tidak mempunyai teman bermain, teman bercanda, dan teman bercerita. Aku ingin mempunyai seseorang yang bisa menjadi ketiga teman tersebut. Tapi, aku sadar, aku tidak akan pernah mendapatkannya. Andai ada ayah di sini. Kami pasti mampu berbicara tentang apa yang kami sukai. Tidak seperti Ibu yang hanya membahas masalah rumah dan sekolah. Rembulan malam ini tidak seperti biasanya. Jendela kamarku yang selalu terbuka untuk menyapa sinarnya bahkan tidak menangkap cahayanya. Malam ini ia malu untuk menunjukkan dirinya. Mungkin sekarang dia sedang bermain bersama bintang-bintang. Rembulan yang selalu menemaniku meninggalkanku di tengah-tengah kegelapan. Lalu, aku akan meninggalkannya dalam lelapku.
  Pagi ini badanku terasa sangat sakit. Aku berpikir agar tidak masuk sekolah. Kakiku terasa sangat sakit, bahkan untuk dibuat berjalan pun, kakiku tidak mampu menopang tubuhku. Akhirnya keinginanku untuk tidak masuk sekolah terkabulkan. Tiba-tiba saja saat ingin berangkat sekolah, hujan deras mengguyur jalanan desaku. “Syf, cepat masuk kalau kau tidak mau sakit.”teriak Ibuku dari dalam rumah. Sebelum disuruhpun aku sudah ada di dalam rumah. “Bagus, hari ini aku tidak perlu ke sekolah, tetapi aku melewatkan pelajaran yang kusukai, IPA.”batinku. Aku sangat menyukai segala sesuatu tentang alam. Aku merasa alam memberikan semua jawaban yang kubutuhkan. Aku juga merasa mampu dan unggul dalam pelajaran tersebut. Inilah aku, anak desa. Aku sudah mampu menyatu dengan alam. Aku tidak membutuhkan apapun selain keadaan alam desaku yang terjaga.
                                                                                 ***
  “Syf, syf!!!”. Aku terbangun dari istirahatku setelah mendengar namaku diteriakkan di depan rumah. “Eh, Endang? Ada apa lagi kamu datang?”aku terkejut saat melihat Endang datang ke rumahku. Namun, lagi-lagi dia tidak kebasahan, padahal seharusnya dia menyeberangi sungai. “Kamu ini kenapa lagi? Kenapa tidak masuk sekolah?”tanyanya. “Kamu tahu-kan, tadi pagi hujan, bagaimana caranya aku menyeberangi sungai? Dan kakiku terasa sakit hari ini”aku mencoba menekankan kata-kata sungai. “Oh iya.  Tapi sekarang kamu sudah tidak apa-apa kan?”tanya Endang khawatir, tetapi dia tidak mengetahui bahwa aku merasa janggal dengan caranya menyeberangi sungai tanpa setetes air di tubuhnya. “Hei, kamu kenapa? Kok malah melamun?” lamunanku langsung terganggu oleh suaranya yang keras itu. “Oh, tidak apa-apa.” Ya sudah aku membawa kabar baik untukmu.
  “Apa? Aku menjadi wakil sekolah untuk mengikuti lomba IPA? Yang benar saja?”tanyaku kaget. “Sungguh, kamu pasti tidak percaya tetapi tadi Bu Pipit menitipkan pesan kepadamu agar kamu mau menjadi duta sekolah. Sudah kamu ikut saja. Aku yakin kamu pasti bisa.”kata Endang mencoba meyakinkanku. “Ah, kau ini. Tetapi untuk yang satu ini, aku pasti tidak akan menolak.”jawabku gembira. “Oh iya, Endang aku ingin bertanya.” “Baik, tanyakan saja.”jawabnya polos. “Sudah dua kali ini, kamu pergi ke rumahku. Namun, kamu tidak kebasahan. Padahal seharusnya kamu menyeberangi sungai. Bagaimana bisa kamu melakukannya?”tanyaku serius. “Sebenarnya Syf, aku sudah tau jalan lain menuju ke sekolah atau ke rumahmu tanpa menyeberangi sungai. Karena kamu sudah sadar, aku akan menunjukkan jalan itu padamu hari ini. Ayo kemari!”ajaknya. Tanpa membuang-buang waktu, aku langsung bangkit dan mengikuti langkah Endang dengan langkah yang penasaran.
  “Ini dia, kamu harus melompatinya. Ingat! Hati-hati.”katanya dengan wajah yang lebih serius. Aku bahkan baru pertama kali melihatnya seserius ini. “Jadi, sebenarnya kamu sudah berkali-kali melewati jalan ini?”tanyaku, dan setelah itu aku langsung melompatinya dengan sempurna. “Iya, dan jalan ini menjadi jalan pintasku. Ingat Syf, ini hanya menjadi rahasia kita berdua.”. “Baiklah.” Aku masih tidak percaya, Endang berani melewati jalan satu dengan jalan lain yang dipisahkan oleh aliran sungai yang lebih deras. Tetapi, aku sungguh percaya akan keahliannya. Aku sudah mengenal Endang sejak kecil. Sikap dan perilakunya hampir sama sepertiku. Endang adalah perempuan yang unik. Oleh karena itu, aku sangat senang mengobrol dan bermain dengannya. Ia mampu menjaga dirinya sendiri.
                                                                                  ***
  Hari ini, aku akan mengikuti lomba IPA. Aku sangat takut, ini adalah pengalaman pertamaku. “Syf kamu pasti bisa. Aku akan menunggumu di perbatasan dan lihat apa yang kubawa untukmu sebagai hadiah saat kamu berhasil.” Begitulah kami menyebut jalan kemarin sebagai perbatasan. Untung saja, hari ini adalah hari Minggu, jadi aku tidak akan ketinggalan pelajaran selama lomba hari ini.
  Sekarang, aku sudah memasuki ruang lomba. Aku melihat ke sekelilingku. Aku melihat banyak sekali anak seusiaku, mereka lebih rapi dan bajunya lebih bagus dari milikku. Aku sedikit minder dengan kenyataan ini. Tetapi, aku tidak ingin dikalahkan hanya melalui penampilan saja. Walaupun aku dari desa, aku yakin aku pasti berhasil dalam mengerjakan soal-soal ini. Bu Pipit menungguku di luar ruang lomba. Aku dapat membaca gelagatnya yang kurang yakin denganku. Tetapi, aku tidak akan mengecewakan sekolahku. Aku membuka soal dan membacanya. Soal-soalnya memang tak pernah diajarkan sebelumnya. Namun, aku mencoba untuk memejamkan mata. Mengingat apa saja yang pernah aku lakukan bersama alam ini. Aku hanya membayangkan kehidupan yang aku jalani bersama mereka. Pertumbuhan dan perkembanganku bersama mereka.  Aku mengerjakan semua soal dengan jawaban yang diberikan oleh alam sendiri.
  Perlu waktu berjam-jam untuk memeriksa jawaban. Aku dan Bu Pipit menunggu pengumuman hasil lomba. “Apa kamu yakin Syf, kamu bisa menjawab semua soal tadi?”tanya Bu Pipit panik. “Aku yakin Bu.”jawabku mencoba meyakinkan Bu Pipit. Hari semakin sore. Namun, yang kupikirkan sekarang bukan juara lomba atau apapun yang berhubungan dengan lomba ini. Aku hanya memikirkan Endang. Aku kasihan dengannya yang harus menungguku di perbatasan selama ini. Dan aku akan berhasil karena dan demi dirinya. Tiba-tiba, seseorang menempelkan sebuah kertas di papan tulis. Aku menjadi orang pertama yang berlari menuju papan tulis itu. Terlihat tulisan mengenai juara lomba IPA. Aku kaget saat melihat namaku ada di urutan kedua. Aku berhasil. Aku langsung berlari ke arah Bu Pipit, memberitahukannya dan menitipkan piala yang aku dapat.
                                                                              ***
  “Endang, Endang, aku datang. Aku juara 2, Endang.”teriakku menuju ke perbatasan. Namun, saat aku sampai di perbatasan, Endang tidak ada di sana. Aku pikir dia ingin menjebakku. Akhirnya aku kembali ke rumah. Aku tidak melihat ada Endang di rumah. Aku mulai panik. Aku langsung berlari ke rumah Endang. Sepanjang perjalanan, aku tidak melihat ada orang yang berlalu-lalang. Biasanya jalanan masih ramai saat sore hari. Aku hampir sampai di rumah Endang. “Mengapa banyak sekali orang di rumahnya?”batinku.
  “Endang?”aku berhenti sambil melihat ada seorang anak perempuan yang tergeletak dan sudah sangat pucat. Dia sedang didoakan oleh banyak orang, banyak orang yang menangis. “Ada apa Bu, apa yang terjadi dengan Endang?”tanyaku pada Ibu Endang. “Endang tergelincir di jalan yang seharusnya tak dilewatinya. Ini dia menitipkan padamua sesuatu.” Aku menitihkan air mataku, aku melihat ada tulisan ‘Selamat Syf, Aku Sangat Bangga Padamu. Aku Berharap Kau Akan Memajukan Desa Ini. Jangan Pernah Berhenti Melangkah. Terkadang Sesuatu Memang Berakhir Untuk Suatu Permulaan.’ Tulisan itu disertai bunga matahari. Malam ini, adalah malam terakhir untuk Endang, rembulan tidak menampakkan cahayanya, mungkin saat ini rembulan sedang bersedih. Semakin lama, lentera ini semakin redup, cahaya harapan ini semakin redup. Tetapi, sesuatu memang berakhir untuk suatu permulaan.  

~jika ada salah kata, saya mohon maaf~

Comments

Popular posts from this blog

Panderman Cup 2017

Hai sobat Artventure! Kali ini saya akan menceritakan salah satu pengalaman saya yang saya alami di sekolah saya, SMPK Santa Maria 2 Malang, yakni Panderman Cup SMPK Santa Maria 2, Malang kembali menggelar Panderman Cup, pada tahun 2017 ini. Panderman Cup 2017 ini menjadi tahun ke-4 bagi SMPK Santa Maria 2, Malang dalam menggelar kegiatan tersebut. Panderman Cup tahun ini mengusung pertandingan basket sebagai fokus utama. Pertandingan ini tidak hanya diikuti oleh sekolah dalam lingkup Kota Malang saja. Melainkan bagi SD se-Jawa Timur. Mulai dari SD yang terdapat di Kota Malang hingga Kota Probolinggo turut serta dalam meramaikan Panderman Cup 2017 ini. Panderman Cup sendiri bisa dibilang sebagai tradisi maupun ciri khas dari SMPK Santa Maria 2, Malang. Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan seluruh siswa-siswi terutama siswa SD dapat meningkatkan rasa sportivitas, kerja sama, tanggung jawab, toleransi, dan sikap sosial mereka. Selain itu, dengan adanya kegiatan ini membuk...

Cinta yang Agung

Hai kawan-kawan! Bagaimana kabar kalian? Sudah lama saya nggak update, karena saya masih harus menempuh ujian ini dan itu, tapi tanpa sengaja saya melihat buku kumpulan puisi milik saya dan membaca kembali puisi karya saya dan puisi karya pujangga-pujangga yang saya kagumi. Sekarang saya ingin menge-share salah satu puisi cinta terbaik menurut saya. Ya, cinta, bagi sebagian orang hidup tidak akan berarti tanpa adanya cinta. Cinta yang tulus, cinta yang saling memberi, cinta yang sempurna . Tapi, akankah cinta harus berakhir dengan bahagia. Bagaimana bagi kisah cinta milik mereka yang harus berakhir dengan perpisahan? Jika kalian merasa demikian, kita dapat menuangkan emosi kita dalam berbagai hal. Salah satunya adalah melalui puisi. Inilah salah satu puisi cinta terbaik menurut saya. Cinta yang Agung (karya; Kahlil Gibran) Adalah ketika kamu menitikkan air mata dan masih peduli terhadapnya Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu  dan kamu masih menunggunya dengan seti...

Review Winterflame

Reading a novel is one of my hobbies. Well, now I will tell you about Winterflame (one of my favorite novel) WINTERFLAME   My hobby is reading a novel. I always read a novel in my free time. Winterflame is one of my favorite novel all the time. Winterflame is the last book I've ever read. Today, I am reading that novel for the second time. Yes, it's weird, but I love the story. I think, Winterflame must become a film, and must be available in Indonesia's or other country's cinemas.   Basically, it's a fantasy novel. If you never read any novels yet, especially a fantasy novels, this book can make you fall in love with. In the story, Winterflame is a powerful weapon. You can steal it, but you can handle it. Winterflame is in Alarus valley. Which is the flameless are live there. It's very dangerous to live in Alarus. You can die anytime.